Perang Saudara Brutal di Sudan: Dua Orang yang Memicu Konflik

12

Sudan semakin terjerumus ke dalam kekacauan seiring dengan meningkatnya perang saudara yang brutal, dengan dua tokoh kunci yang mendorong kekerasan tersebut: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin militer Sudan, dan Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti), komandan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Konflik baru-baru ini mencapai titik kritis ketika RSF menguasai El Fasher, yang secara efektif memecah belah negara. Hal ini terjadi setelah berbulan-bulan terjadi peningkatan pelanggaran hak asasi manusia dari kedua belah pihak, dan warga sipil terjebak dalam baku tembak.

Akar Konflik

Krisis yang terjadi saat ini tidak hanya terjadi satu kali, tetapi berasal dari kekerasan dan ketidakstabilan yang terjadi selama beberapa dekade di Sudan. Alex DeWaal, pakar kawasan ini, menjelaskan, baik Burhan maupun Hemedti adalah produk dari siklus konflik yang panjang ini. Naiknya mereka ke tampuk kekuasaan mencerminkan budaya politik yang kejam dimana kelangsungan hidup mereka bergantung pada kebrutalan. Situasi ini semakin diperumit oleh kepentingan eksternal, termasuk keterlibatan Arab Saudi, yang mendorong dilakukannya intervensi namun tidak mengatasi penyebab mendasar perang tersebut.

Komandan: Burhan dan Hemedti

Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, seorang perwira militer karir, memiliki catatan yang beragam. Dia sebelumnya bertugas dalam perang di Darfur dan dibayar oleh Arab Saudi dan UEA selama konflik Yaman. Meskipun ia mengaku mewakili pemerintah Sudan, koalisinya bergantung pada brigade Islam yang kejam untuk mempertahankan kekuasaan. Tujuan utamanya tampaknya adalah memulihkan status quo sebelum konflik, meskipun hal ini semakin tidak dapat dipertahankan mengingat meluasnya oposisi sipil.

Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti), pemimpin RSF, adalah operator yang berbeda. Ia naik pangkat sebagai komandan kejam di Darfur, yang dikenal sebagai dalang pembantaian. Seiring berjalannya waktu, ia menjadi pengusaha kaya yang mengendalikan tambang emas dan membangun pasukan swasta. Berbeda dengan Burhan, Hemedti tidak berupaya membangun kembali negaranya melainkan mengkonsolidasikan kekuasaan bagi dirinya dan keluarganya, sehingga mengubah Sudan menjadi wilayah kekuasaan pribadi.

Meningkatnya Kekerasan

Pengambilalihan El Fasher oleh RSF baru-baru ini menandai titik balik. Kota ini telah dikepung selama 18 bulan, dan warga sipil hidup dalam ketakutan ketika RSF melakukan serangan pesawat tak berawak, menargetkan rumah sakit, dan bersiap untuk serangan darat yang brutal. Laporan-laporan dari wilayah tersebut mengkonfirmasi adanya kekejaman yang mengerikan: laki-laki dibunuh di jalanan, perempuan diperkosa di depan keluarga mereka. Yang meresahkan, RSF mendokumentasikan kejahatannya dalam bentuk video, dan menikmati kebrutalan tersebut.

Pasukan Hemedti juga dituduh melakukan kampanye genosida di Darfur, termasuk penjarahan sistematis dan teror di Khartoum. Tindakan-tindakan ini menunjukkan pengabaian terhadap kehidupan sipil dan hukum internasional.

Siklus Kekerasan

Konflik di Sudan bukan sekedar perebutan kekuasaan; ini adalah gejala kegagalan sistem yang lebih dalam. Seperti yang diungkapkan DeWaal, tekanan kemiskinan, kelaparan, dan perang selama puluhan tahun telah melahirkan budaya politik yang tidak kenal ampun. Siklus ini terus berlanjut: seorang pemimpin yang kejam menggantikan pemimpin lainnya, dan setiap generasi dibentuk oleh kekerasan. Permasalahan mendasar masih belum terselesaikan, sehingga generasi mendatang kemungkinan besar akan mengalami nasib yang sama.

Konflik di Sudan merupakan pengingat bahwa kekerasan yang tidak terkendali akan melahirkan lebih banyak kekerasan, dan tanpa mengatasi akar permasalahannya, siklus ini hanya akan terus berlanjut.

Попередня статтяArab Saudi Akan Menjadi Tuan Rumah Pusat Komputasi AI Besar-besaran dengan Kemitraan AWS
Наступна статтяBlack Friday 2025: Penawaran Laptop Gaming Terbaik